PROLOG
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi. Dokter telah memvonis bahwa diriku terkena penyakit kanker dan usiaku sudah tidak lebih dari tiga bulan. Jantungku berhenti sejenak dan kemudian berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Dan entah sejak kapan secara tidak sadar air mataku setetes demi setetes jatuh membasahi pipiku. Dadaku terasa begitu sesak sedang nafasku mulai terengah. Kenyataan yang tak bisa begitu saja aku terima dengan mudah, kenyataan yang hanya diketahui oleh aku dan dokterku saja. Apakah harus kuberitahukan kepada orang tuaku, kepada orang-orang terdekatku? Anganku langsung saja melambung sejauh yang ia bisa, otakku pun mulai lumpuh sedang tatapanku kosong.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku Angan, entah maksud dari namaku itu apa yang aku tahu kedua orang tuaku memberiku nama Angan. Pagi ini aku dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang menembus jendela ruang tidurku.
"Selamat pagi dunia" kataku lebih untuk diriku sendiri.
Saat ini usiaku sudah menginjak angka 18, dan itu berarti aku sudah siap mengetahui segala rahasia yang ada di dunia. Entah rahasia apakah itu yang jelas aku tertarik akan hal itu, tertarik pada apa yang tidak aku ketahui sebelumnya. Pagi sampai siang hari ini kujalani seperti hari biasanya, tak ada yang berbeda. Matahari sudah mulai lelah menampakkan dirinya seiring dengan langit yang berwarna kemerah – merahan. Sudah sore pikirku dan aku pun sudah mulai lelah beraktivitas hari ini. Entah kenapa tubuhku sering merasa cepat lelah akhir – akhir ini disertai dengan sakit kepala yang begitu menyiksa. Akan kuperiksakan ke dokter esok hari pikirku.
Keesokan harinya aku pergi ke dokter. Selama hampir satu jam aku berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter akhirnya sang dokter mengatakan sesuatu.
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi.
Tidakkah ini berita yang sangat mengejutkan? Badanku kaku seketika seakan tidak bernapas untuk sepersekian menit. Apa yang harus aku perbuat? Otakku lumpuh sejadi – jadinya dan aku benar – benar seperti orang yang tak punya arah. Kulangkahkan kakiku keluar ruang dokter dan berjalan menelusuri koridor. Koridor yang kulalui menjadi sangat panjang untuk kulewati karena kakiku terasa berat untuk melangkah.
Hari ini adalah hari pertamaku sejak aku divonis mengidap penyakit kanker. Aku sudah mulai bisa menerima kenyataan yang ada namun aku belum terlalu siap untuk memberitahukan semuanya pada orang – orang terdekatku. Semua tampak biasa saja dalam pandanganku tapi tidak dalam pikiranku. Di sini di tempat ini di sebuah taman bermain aku duduk melamun seorang diri, pikiranku terbang setinggi ia mampu. Sampai akhirnya seseorang datang mendekatiku dan menyapaku dengan ramah, seorang gadis kecil yang berpenampilan sedikit aneh menurutku.
“ Hai adik kecil, sedang apa kamu disini? Mana orang tua kamu? ” tanyaku padanya.
“ Orang tuaku sudah ada di surga kak bersama kakak laki – lakiku. ” jawaban polos yang keluar dari bibir gadis kecil berusia 8 tahun.
Pada gadis itu tidak tampak kesedihan dalam raut wajahnya, melainkan seulas senyum yang terlukis di bibirnya. Mungkin baginya keberadaan orang terdekatnya sudah cukup membuatnya bahagia dan sekarang gadis itu hanya harus merelakan orang terdekatnya itu memperoleh kebahagiaannya sendiri, gadis kecil itu kini sudah ikhlas dan orang terdekat baginya sudah berhasil membuatnya tetap tersenyum meski mereka sudah tidak ada lagi untuk gadis kecil itu. Akupun memberikan senyum kecilku padanya. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tak peduli penyakit yang bersarang pada tubuhku, tak peduli berapa lama sisa usiaku, yang aku tahu aku akan tetap hidup sampai orang – orang terdekatku tersenyum lepas saat kepergianku tiba.
Dia adalah ibuku, wanita tua yang sederhana yang selalu tampil apa adanya. Dan disampingnya adalah ayahku, sosok pria berkulit coklat dengan sedikit uban di rambutnya. Serta yang berada di tengah adalah aku bersama adik laki – lakiku, Awan yang sudah berusia 10 tahun. Aku sedang memandangi foto keluarga yang berada di dalam dompetku. Kami sekeluarga tinggal di rumah yang sederhana dengan ruangan seadanya. Ayahku hanya bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji ala kadarnya, sedang ibuku membuka warung makan demi mencukupi kebutuhan kami semua. Adikku adalah bocah ingusan yang selalu ingin menang sendiri namun aku begitu menyayanginya dan ia adalah sumber motivasiku belajar, sedangkan aku sendiri adalah mahasiswa dengan kecerdasan yang bisa dibilang standard. Disaat seperti ini mengingat mereka merupakan rutinitasku setiap menit seolah mereka akan selalu ada di sisiku sepanjang waktu, dengan begitu aku tidak takut kalau suatu saat Tuhan mengambil nyawaku karena mereka senantiasa ada di dekatku.
Hari ini genap sebulan aku mengidap penyakit kanker dan tak ada satu pun orang yang mengetahui fakta ini. Kuputuskan untuk berjalan – jalan mengelilingi kota Jakarta hari ini, hanya sekedar untuk menghilangkan kepenatanku akan pikiran – pikiran yang mungkin tak terlalu penting untuk dipikirkan. Langkah kakiku membawaku menuju jalan raya dengan hiruk – pikuk kendaran yang berlalu – lalang. Mataku tertuju pada sekelompok anak kecil yang bernyanyi dari satu mobil menuju mobil yang lainnya hanya untuk mendapatkan sereceh uang logam. Kumelihat mereka tertawa seakan tak memiliki beban hidup, mungkin saja mereka tak memiliki keluarga, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Senyuman tersimpul di bibir mereka menandakan kebahagiaan, tertawa lepas tak nampak raut wajah kesedihan sedikit pun. Mereka asyik bercanda satu sama lain, sedang selain itu mereka harus bernyanyi di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Tak sedikit yang bisa aku pelajari dari mereka, bahwa kebahagiaan bukan tentang materi bukan pula tentang apa yang kita punyai. Mereka mungkin tak memiliki uang yang banyak dan mungkin tak memiliki keluarga dekat, namun mereka dapat merasakan kebahagiaan yang belum tentu dimiliki banyak orang. Mereka memiliki kebahagiaan dari hidup yang mereka jalani sekarang, kehidupan dengan harapan yang masih tersisa pada diri mereka. Harapan bahwa mereka bisa hidup layak meskipun banyak orang yang menganggap mereka tak pernah ada.
Tidak lama setelah hari dimana aku bertemu dengan anak – anak jalanan, kondisi tubuhku melemah. Wajahku sudah tampak seperti orang yang tidak sehat pada umumnya. Terdapat tanda – tanda curiga dari raut wajah ibu namun aku selalu bisa menutupinya dengan seulas senyum yang terkadang memaksa. Kali ini aku akan pergi ke dokter untuk sekedar memastikan, barang kali saja penyakitku tiba – tiba hilang seketika meskipun hal itu mustahil dan aku berharap bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia. Namun hasilnya nihil, tak ada hal yang membaik dari semuanya, aku pun segera berjalan keluar dari rumah sakit. Di perjalanan pulang, tepatnya di dalam transjakarta, aku bertemu seorang kakek tua bersama cucunya. Aku memulai pembicaraan dengannya.
“ Kakek, itu cucu kakek ? ” tanyaku pada kakek.
“ Iya, ini cucu kakek namanya Arfya. Lucu sekali kan ? ” jawab kakek dengan senyum dan tawa di wajahnya.
“ Lucu sekali kek, gemes ngeliatnya. Orang tuanya maksud saya anak kakek mana ? kok adek bayinya dirawat sama kakek ? ” Tanyaku dengan sopan takut – takut menyinggung perasaan kakek.
“ Oh, orang tua bayi ini sudah meninggal dalam kecelakaan. ” jawab kakek dengan nada sedikit melemah namun senyum masih tetap terlukis di bibirnya.
“ Maaf ya Kek, saya tidak tahu. ” kata terakhir dariku yang merasa pembicaraan sebaiknya disudahi saja.
Meskipun aku sudah tak berbicara pada kakek tapi mataku masih memandangnya, dia asyik sekali bercanda dengan cucunya yang mungkin usianya baru sekitar 3 bulan. Tertawanya begitu lepas meskipun aku tahu dia baru saja ditinggal oleh anaknya beberapa waktu yang lalu. Aku mengerti sekarang bahwa kebahagiaan tak diperuntukan hanya untuk mereka yang masih muda dan memiliki segalanya, bahkan seorang kakek tua yang masih sibuk merawat bayipun bisa berbahagia. Kakek itu memiliki kebahagiaan dari apa yang telah dititipkan padanya, seorang cucu dari anaknya yang telah meninggal. Aku ikuti kakek itu sampai ke rumahnya dan ternyata rumahnya begitu sederhana, tak seperti yang aku bayangkan.
Sudah hampir 3 bulan berlalu dan aku memang sudah benar – benar layaknya orang sakit. Ibu, ayah, dan adikku pun telah mengetahui semuanya, dan mereka tampak tak seceria dulu. Aku ingin mereka bahagia, tidak seperti sekarang ini dimana wajah mereka tampak begitu cemas memikirkanku. Dan akhirnya masa dimana kontrak hidupku di dunia habis tiba juga, ada pesan yang aku sampaikan kepada ibu, ayah, juga Awan.
“Kebahagiaan bisa didapat kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, dan dengan cara bagaimanapun. Dulu aku sempat melihat anak jalanan yang tampak bahagia meskipun tak memiliki keluarga, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia demi orang – orang yang masih ada di sekitar kalian. Dulu aku juga sempat melihat kakek tua yang begitu ceria meskipun hanya memiliki cucu yang masih bayi, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia dengan siapapun yang masih ada di tengah – tengah kalian. Dengan begitu aku juga punya kebahagiaanku sendiri. Aku tetaplah angan yang pernah hadir dalam hidup kalian, angan yang akan selalu membuat kalian tersenyum, angan yang meskipun tak terlihat tapi masih dapat dirasakan canda tawanya. ”
Dan mereka tetap tersenyum dalam tidur panjangku, aku senang sekali mereka seperti itu.
--------------------------------------------------------------------------------------------
EPILOG
Surat Angan dari Surga,
Untuk Awan adikku,
Aku hanya ingin sedikit menuliskan apa yang sedang aku bayangkan. Kau tahu kalau kau itu menjengkelkan ? anak kecil yang sok dewasa dengan keegoisan tingkat tinggi. Kadang semua itu membuatku benar – benar murka terhadapmu, tapi tidak pada kenyataannya. Kau adalah sumber penyemangatku dan kau perlu tahu akan hal itu. Teruslah tersenyum dengan lebar selayaknya waktu kau dapat mainan baru dari ayah sedangkan aku tidak. Bukankah kau begitu senang kalau sikap tak adil itu selalu dijatuhkan untukku ? tapi bukan itu yang aku maksud. Aku ingin kau tetap tersenyum untuk ibu dan ayah karena senyum yang mereka punya hanyalah senyum darimu sekarang. Carilah kebahagiaanmu sendiri karena kakakmu yang suka meledekmu ini sudah punya kebahagiaan sendiri.
Untuk Ibu dan Ayah,
Aku bingung ingin menulis apa dalam surat yang aku tujukan untuk kalian, yang jelas aku sedang ingin membuat sebuah surat untuk kalian. Aku tahu sekali kalau aku tak pernah berbakat yang namanya merayu, tapi dalam surat ini aku akan coba. Kalian tahu apa yang aku inginkan sehingga aku membuat surat rayuan ini? Aku ingin kalian tetap tersenyum. Aku sedikit mengerti kata Angan dalam namaku, angan itu bisa disebut sebuah bayangan tapi bisa juga dikatakan sebuah imajinasi. Oleh karena itu bayangkanlah diriku yang senantiasa tersenyum apabila melihat kalian bahagia. Ah, aku tahu kata – kataku tak romantis tapi tersenyumlah ibu, ayah. Berbahagiaan kalian dengan apa yang masih kalian punya karena anakmu yang suka membantah ini sudah bahagia dengan segala yang dipunya saat ini.
inspirated by pendutt : )
October 30th, 2009
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi. Dokter telah memvonis bahwa diriku terkena penyakit kanker dan usiaku sudah tidak lebih dari tiga bulan. Jantungku berhenti sejenak dan kemudian berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Dan entah sejak kapan secara tidak sadar air mataku setetes demi setetes jatuh membasahi pipiku. Dadaku terasa begitu sesak sedang nafasku mulai terengah. Kenyataan yang tak bisa begitu saja aku terima dengan mudah, kenyataan yang hanya diketahui oleh aku dan dokterku saja. Apakah harus kuberitahukan kepada orang tuaku, kepada orang-orang terdekatku? Anganku langsung saja melambung sejauh yang ia bisa, otakku pun mulai lumpuh sedang tatapanku kosong.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku Angan, entah maksud dari namaku itu apa yang aku tahu kedua orang tuaku memberiku nama Angan. Pagi ini aku dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang menembus jendela ruang tidurku.
"Selamat pagi dunia" kataku lebih untuk diriku sendiri.
Saat ini usiaku sudah menginjak angka 18, dan itu berarti aku sudah siap mengetahui segala rahasia yang ada di dunia. Entah rahasia apakah itu yang jelas aku tertarik akan hal itu, tertarik pada apa yang tidak aku ketahui sebelumnya. Pagi sampai siang hari ini kujalani seperti hari biasanya, tak ada yang berbeda. Matahari sudah mulai lelah menampakkan dirinya seiring dengan langit yang berwarna kemerah – merahan. Sudah sore pikirku dan aku pun sudah mulai lelah beraktivitas hari ini. Entah kenapa tubuhku sering merasa cepat lelah akhir – akhir ini disertai dengan sakit kepala yang begitu menyiksa. Akan kuperiksakan ke dokter esok hari pikirku.
Keesokan harinya aku pergi ke dokter. Selama hampir satu jam aku berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter akhirnya sang dokter mengatakan sesuatu.
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi.
Tidakkah ini berita yang sangat mengejutkan? Badanku kaku seketika seakan tidak bernapas untuk sepersekian menit. Apa yang harus aku perbuat? Otakku lumpuh sejadi – jadinya dan aku benar – benar seperti orang yang tak punya arah. Kulangkahkan kakiku keluar ruang dokter dan berjalan menelusuri koridor. Koridor yang kulalui menjadi sangat panjang untuk kulewati karena kakiku terasa berat untuk melangkah.
Hari ini adalah hari pertamaku sejak aku divonis mengidap penyakit kanker. Aku sudah mulai bisa menerima kenyataan yang ada namun aku belum terlalu siap untuk memberitahukan semuanya pada orang – orang terdekatku. Semua tampak biasa saja dalam pandanganku tapi tidak dalam pikiranku. Di sini di tempat ini di sebuah taman bermain aku duduk melamun seorang diri, pikiranku terbang setinggi ia mampu. Sampai akhirnya seseorang datang mendekatiku dan menyapaku dengan ramah, seorang gadis kecil yang berpenampilan sedikit aneh menurutku.
“ Hai adik kecil, sedang apa kamu disini? Mana orang tua kamu? ” tanyaku padanya.
“ Orang tuaku sudah ada di surga kak bersama kakak laki – lakiku. ” jawaban polos yang keluar dari bibir gadis kecil berusia 8 tahun.
Pada gadis itu tidak tampak kesedihan dalam raut wajahnya, melainkan seulas senyum yang terlukis di bibirnya. Mungkin baginya keberadaan orang terdekatnya sudah cukup membuatnya bahagia dan sekarang gadis itu hanya harus merelakan orang terdekatnya itu memperoleh kebahagiaannya sendiri, gadis kecil itu kini sudah ikhlas dan orang terdekat baginya sudah berhasil membuatnya tetap tersenyum meski mereka sudah tidak ada lagi untuk gadis kecil itu. Akupun memberikan senyum kecilku padanya. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tak peduli penyakit yang bersarang pada tubuhku, tak peduli berapa lama sisa usiaku, yang aku tahu aku akan tetap hidup sampai orang – orang terdekatku tersenyum lepas saat kepergianku tiba.
Dia adalah ibuku, wanita tua yang sederhana yang selalu tampil apa adanya. Dan disampingnya adalah ayahku, sosok pria berkulit coklat dengan sedikit uban di rambutnya. Serta yang berada di tengah adalah aku bersama adik laki – lakiku, Awan yang sudah berusia 10 tahun. Aku sedang memandangi foto keluarga yang berada di dalam dompetku. Kami sekeluarga tinggal di rumah yang sederhana dengan ruangan seadanya. Ayahku hanya bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji ala kadarnya, sedang ibuku membuka warung makan demi mencukupi kebutuhan kami semua. Adikku adalah bocah ingusan yang selalu ingin menang sendiri namun aku begitu menyayanginya dan ia adalah sumber motivasiku belajar, sedangkan aku sendiri adalah mahasiswa dengan kecerdasan yang bisa dibilang standard. Disaat seperti ini mengingat mereka merupakan rutinitasku setiap menit seolah mereka akan selalu ada di sisiku sepanjang waktu, dengan begitu aku tidak takut kalau suatu saat Tuhan mengambil nyawaku karena mereka senantiasa ada di dekatku.
Hari ini genap sebulan aku mengidap penyakit kanker dan tak ada satu pun orang yang mengetahui fakta ini. Kuputuskan untuk berjalan – jalan mengelilingi kota Jakarta hari ini, hanya sekedar untuk menghilangkan kepenatanku akan pikiran – pikiran yang mungkin tak terlalu penting untuk dipikirkan. Langkah kakiku membawaku menuju jalan raya dengan hiruk – pikuk kendaran yang berlalu – lalang. Mataku tertuju pada sekelompok anak kecil yang bernyanyi dari satu mobil menuju mobil yang lainnya hanya untuk mendapatkan sereceh uang logam. Kumelihat mereka tertawa seakan tak memiliki beban hidup, mungkin saja mereka tak memiliki keluarga, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Senyuman tersimpul di bibir mereka menandakan kebahagiaan, tertawa lepas tak nampak raut wajah kesedihan sedikit pun. Mereka asyik bercanda satu sama lain, sedang selain itu mereka harus bernyanyi di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Tak sedikit yang bisa aku pelajari dari mereka, bahwa kebahagiaan bukan tentang materi bukan pula tentang apa yang kita punyai. Mereka mungkin tak memiliki uang yang banyak dan mungkin tak memiliki keluarga dekat, namun mereka dapat merasakan kebahagiaan yang belum tentu dimiliki banyak orang. Mereka memiliki kebahagiaan dari hidup yang mereka jalani sekarang, kehidupan dengan harapan yang masih tersisa pada diri mereka. Harapan bahwa mereka bisa hidup layak meskipun banyak orang yang menganggap mereka tak pernah ada.
Tidak lama setelah hari dimana aku bertemu dengan anak – anak jalanan, kondisi tubuhku melemah. Wajahku sudah tampak seperti orang yang tidak sehat pada umumnya. Terdapat tanda – tanda curiga dari raut wajah ibu namun aku selalu bisa menutupinya dengan seulas senyum yang terkadang memaksa. Kali ini aku akan pergi ke dokter untuk sekedar memastikan, barang kali saja penyakitku tiba – tiba hilang seketika meskipun hal itu mustahil dan aku berharap bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia. Namun hasilnya nihil, tak ada hal yang membaik dari semuanya, aku pun segera berjalan keluar dari rumah sakit. Di perjalanan pulang, tepatnya di dalam transjakarta, aku bertemu seorang kakek tua bersama cucunya. Aku memulai pembicaraan dengannya.
“ Kakek, itu cucu kakek ? ” tanyaku pada kakek.
“ Iya, ini cucu kakek namanya Arfya. Lucu sekali kan ? ” jawab kakek dengan senyum dan tawa di wajahnya.
“ Lucu sekali kek, gemes ngeliatnya. Orang tuanya maksud saya anak kakek mana ? kok adek bayinya dirawat sama kakek ? ” Tanyaku dengan sopan takut – takut menyinggung perasaan kakek.
“ Oh, orang tua bayi ini sudah meninggal dalam kecelakaan. ” jawab kakek dengan nada sedikit melemah namun senyum masih tetap terlukis di bibirnya.
“ Maaf ya Kek, saya tidak tahu. ” kata terakhir dariku yang merasa pembicaraan sebaiknya disudahi saja.
Meskipun aku sudah tak berbicara pada kakek tapi mataku masih memandangnya, dia asyik sekali bercanda dengan cucunya yang mungkin usianya baru sekitar 3 bulan. Tertawanya begitu lepas meskipun aku tahu dia baru saja ditinggal oleh anaknya beberapa waktu yang lalu. Aku mengerti sekarang bahwa kebahagiaan tak diperuntukan hanya untuk mereka yang masih muda dan memiliki segalanya, bahkan seorang kakek tua yang masih sibuk merawat bayipun bisa berbahagia. Kakek itu memiliki kebahagiaan dari apa yang telah dititipkan padanya, seorang cucu dari anaknya yang telah meninggal. Aku ikuti kakek itu sampai ke rumahnya dan ternyata rumahnya begitu sederhana, tak seperti yang aku bayangkan.
Sudah hampir 3 bulan berlalu dan aku memang sudah benar – benar layaknya orang sakit. Ibu, ayah, dan adikku pun telah mengetahui semuanya, dan mereka tampak tak seceria dulu. Aku ingin mereka bahagia, tidak seperti sekarang ini dimana wajah mereka tampak begitu cemas memikirkanku. Dan akhirnya masa dimana kontrak hidupku di dunia habis tiba juga, ada pesan yang aku sampaikan kepada ibu, ayah, juga Awan.
“Kebahagiaan bisa didapat kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, dan dengan cara bagaimanapun. Dulu aku sempat melihat anak jalanan yang tampak bahagia meskipun tak memiliki keluarga, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia demi orang – orang yang masih ada di sekitar kalian. Dulu aku juga sempat melihat kakek tua yang begitu ceria meskipun hanya memiliki cucu yang masih bayi, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia dengan siapapun yang masih ada di tengah – tengah kalian. Dengan begitu aku juga punya kebahagiaanku sendiri. Aku tetaplah angan yang pernah hadir dalam hidup kalian, angan yang akan selalu membuat kalian tersenyum, angan yang meskipun tak terlihat tapi masih dapat dirasakan canda tawanya. ”
Dan mereka tetap tersenyum dalam tidur panjangku, aku senang sekali mereka seperti itu.
--------------------------------------------------------------------------------------------
EPILOG
Surat Angan dari Surga,
Untuk Awan adikku,
Aku hanya ingin sedikit menuliskan apa yang sedang aku bayangkan. Kau tahu kalau kau itu menjengkelkan ? anak kecil yang sok dewasa dengan keegoisan tingkat tinggi. Kadang semua itu membuatku benar – benar murka terhadapmu, tapi tidak pada kenyataannya. Kau adalah sumber penyemangatku dan kau perlu tahu akan hal itu. Teruslah tersenyum dengan lebar selayaknya waktu kau dapat mainan baru dari ayah sedangkan aku tidak. Bukankah kau begitu senang kalau sikap tak adil itu selalu dijatuhkan untukku ? tapi bukan itu yang aku maksud. Aku ingin kau tetap tersenyum untuk ibu dan ayah karena senyum yang mereka punya hanyalah senyum darimu sekarang. Carilah kebahagiaanmu sendiri karena kakakmu yang suka meledekmu ini sudah punya kebahagiaan sendiri.
Untuk Ibu dan Ayah,
Aku bingung ingin menulis apa dalam surat yang aku tujukan untuk kalian, yang jelas aku sedang ingin membuat sebuah surat untuk kalian. Aku tahu sekali kalau aku tak pernah berbakat yang namanya merayu, tapi dalam surat ini aku akan coba. Kalian tahu apa yang aku inginkan sehingga aku membuat surat rayuan ini? Aku ingin kalian tetap tersenyum. Aku sedikit mengerti kata Angan dalam namaku, angan itu bisa disebut sebuah bayangan tapi bisa juga dikatakan sebuah imajinasi. Oleh karena itu bayangkanlah diriku yang senantiasa tersenyum apabila melihat kalian bahagia. Ah, aku tahu kata – kataku tak romantis tapi tersenyumlah ibu, ayah. Berbahagiaan kalian dengan apa yang masih kalian punya karena anakmu yang suka membantah ini sudah bahagia dengan segala yang dipunya saat ini.
inspirated by pendutt : )
October 30th, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar