Sabtu, 31 Oktober 2009

Angan Dari Surga


PROLOG
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi. Dokter telah memvonis bahwa diriku terkena penyakit kanker dan usiaku sudah tidak lebih dari tiga bulan. Jantungku berhenti sejenak dan kemudian berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Dan entah sejak kapan secara tidak sadar air mataku setetes demi setetes jatuh membasahi pipiku. Dadaku terasa begitu sesak sedang nafasku mulai terengah. Kenyataan yang tak bisa begitu saja aku terima dengan mudah, kenyataan yang hanya diketahui oleh aku dan dokterku saja. Apakah harus kuberitahukan kepada orang tuaku, kepada orang-orang terdekatku? Anganku langsung saja melambung sejauh yang ia bisa, otakku pun mulai lumpuh sedang tatapanku kosong.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Namaku Angan, entah maksud dari namaku itu apa yang aku tahu kedua orang tuaku memberiku nama Angan. Pagi ini aku dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang menembus jendela ruang tidurku.
"Selamat pagi dunia" kataku lebih untuk diriku sendiri.
Saat ini usiaku sudah menginjak angka 18, dan itu berarti aku sudah siap mengetahui segala rahasia yang ada di dunia. Entah rahasia apakah itu yang jelas aku tertarik akan hal itu, tertarik pada apa yang tidak aku ketahui sebelumnya. Pagi sampai siang hari ini kujalani seperti hari biasanya, tak ada yang berbeda. Matahari sudah mulai lelah menampakkan dirinya seiring dengan langit yang berwarna kemerah – merahan. Sudah sore pikirku dan aku pun sudah mulai lelah beraktivitas hari ini. Entah kenapa tubuhku sering merasa cepat lelah akhir – akhir ini disertai dengan sakit kepala yang begitu menyiksa. Akan kuperiksakan ke dokter esok hari pikirku.

Keesokan harinya aku pergi ke dokter. Selama hampir satu jam aku berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter akhirnya sang dokter mengatakan sesuatu.
"Maaf saya harus mengatakan yang sejujurnya bahwa anda terkena penyakit kanker dan usia anda tidak lebih dari tiga bulan lagi" kata dokter yang memeriksaku sejak tadi.
Tidakkah ini berita yang sangat mengejutkan? Badanku kaku seketika seakan tidak bernapas untuk sepersekian menit. Apa yang harus aku perbuat? Otakku lumpuh sejadi – jadinya dan aku benar – benar seperti orang yang tak punya arah. Kulangkahkan kakiku keluar ruang dokter dan berjalan menelusuri koridor. Koridor yang kulalui menjadi sangat panjang untuk kulewati karena kakiku terasa berat untuk melangkah.

Hari ini adalah hari pertamaku sejak aku divonis mengidap penyakit kanker. Aku sudah mulai bisa menerima kenyataan yang ada namun aku belum terlalu siap untuk memberitahukan semuanya pada orang – orang terdekatku. Semua tampak biasa saja dalam pandanganku tapi tidak dalam pikiranku. Di sini di tempat ini di sebuah taman bermain aku duduk melamun seorang diri, pikiranku terbang setinggi ia mampu. Sampai akhirnya seseorang datang mendekatiku dan menyapaku dengan ramah, seorang gadis kecil yang berpenampilan sedikit aneh menurutku.
“ Hai adik kecil, sedang apa kamu disini? Mana orang tua kamu? ” tanyaku padanya.
“ Orang tuaku sudah ada di surga kak bersama kakak laki – lakiku. ” jawaban polos yang keluar dari bibir gadis kecil berusia 8 tahun.
Pada gadis itu tidak tampak kesedihan dalam raut wajahnya, melainkan seulas senyum yang terlukis di bibirnya. Mungkin baginya keberadaan orang terdekatnya sudah cukup membuatnya bahagia dan sekarang gadis itu hanya harus merelakan orang terdekatnya itu memperoleh kebahagiaannya sendiri, gadis kecil itu kini sudah ikhlas dan orang terdekat baginya sudah berhasil membuatnya tetap tersenyum meski mereka sudah tidak ada lagi untuk gadis kecil itu. Akupun memberikan senyum kecilku padanya. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tak peduli penyakit yang bersarang pada tubuhku, tak peduli berapa lama sisa usiaku, yang aku tahu aku akan tetap hidup sampai orang – orang terdekatku tersenyum lepas saat kepergianku tiba.

Dia adalah ibuku, wanita tua yang sederhana yang selalu tampil apa adanya. Dan disampingnya adalah ayahku, sosok pria berkulit coklat dengan sedikit uban di rambutnya. Serta yang berada di tengah adalah aku bersama adik laki – lakiku, Awan yang sudah berusia 10 tahun. Aku sedang memandangi foto keluarga yang berada di dalam dompetku. Kami sekeluarga tinggal di rumah yang sederhana dengan ruangan seadanya. Ayahku hanya bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji ala kadarnya, sedang ibuku membuka warung makan demi mencukupi kebutuhan kami semua. Adikku adalah bocah ingusan yang selalu ingin menang sendiri namun aku begitu menyayanginya dan ia adalah sumber motivasiku belajar, sedangkan aku sendiri adalah mahasiswa dengan kecerdasan yang bisa dibilang standard. Disaat seperti ini mengingat mereka merupakan rutinitasku setiap menit seolah mereka akan selalu ada di sisiku sepanjang waktu, dengan begitu aku tidak takut kalau suatu saat Tuhan mengambil nyawaku karena mereka senantiasa ada di dekatku.

Hari ini genap sebulan aku mengidap penyakit kanker dan tak ada satu pun orang yang mengetahui fakta ini. Kuputuskan untuk berjalan – jalan mengelilingi kota Jakarta hari ini, hanya sekedar untuk menghilangkan kepenatanku akan pikiran – pikiran yang mungkin tak terlalu penting untuk dipikirkan. Langkah kakiku membawaku menuju jalan raya dengan hiruk – pikuk kendaran yang berlalu – lalang. Mataku tertuju pada sekelompok anak kecil yang bernyanyi dari satu mobil menuju mobil yang lainnya hanya untuk mendapatkan sereceh uang logam. Kumelihat mereka tertawa seakan tak memiliki beban hidup, mungkin saja mereka tak memiliki keluarga, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Senyuman tersimpul di bibir mereka menandakan kebahagiaan, tertawa lepas tak nampak raut wajah kesedihan sedikit pun. Mereka asyik bercanda satu sama lain, sedang selain itu mereka harus bernyanyi di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Tak sedikit yang bisa aku pelajari dari mereka, bahwa kebahagiaan bukan tentang materi bukan pula tentang apa yang kita punyai. Mereka mungkin tak memiliki uang yang banyak dan mungkin tak memiliki keluarga dekat, namun mereka dapat merasakan kebahagiaan yang belum tentu dimiliki banyak orang. Mereka memiliki kebahagiaan dari hidup yang mereka jalani sekarang, kehidupan dengan harapan yang masih tersisa pada diri mereka. Harapan bahwa mereka bisa hidup layak meskipun banyak orang yang menganggap mereka tak pernah ada.

Tidak lama setelah hari dimana aku bertemu dengan anak – anak jalanan, kondisi tubuhku melemah. Wajahku sudah tampak seperti orang yang tidak sehat pada umumnya. Terdapat tanda – tanda curiga dari raut wajah ibu namun aku selalu bisa menutupinya dengan seulas senyum yang terkadang memaksa. Kali ini aku akan pergi ke dokter untuk sekedar memastikan, barang kali saja penyakitku tiba – tiba hilang seketika meskipun hal itu mustahil dan aku berharap bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia. Namun hasilnya nihil, tak ada hal yang membaik dari semuanya, aku pun segera berjalan keluar dari rumah sakit. Di perjalanan pulang, tepatnya di dalam transjakarta, aku bertemu seorang kakek tua bersama cucunya. Aku memulai pembicaraan dengannya.
“ Kakek, itu cucu kakek ? ” tanyaku pada kakek.
“ Iya, ini cucu kakek namanya Arfya. Lucu sekali kan ? ” jawab kakek dengan senyum dan tawa di wajahnya.
“ Lucu sekali kek, gemes ngeliatnya. Orang tuanya maksud saya anak kakek mana ? kok adek bayinya dirawat sama kakek ? ” Tanyaku dengan sopan takut – takut menyinggung perasaan kakek.
“ Oh, orang tua bayi ini sudah meninggal dalam kecelakaan. ” jawab kakek dengan nada sedikit melemah namun senyum masih tetap terlukis di bibirnya.
“ Maaf ya Kek, saya tidak tahu. ” kata terakhir dariku yang merasa pembicaraan sebaiknya disudahi saja.
Meskipun aku sudah tak berbicara pada kakek tapi mataku masih memandangnya, dia asyik sekali bercanda dengan cucunya yang mungkin usianya baru sekitar 3 bulan. Tertawanya begitu lepas meskipun aku tahu dia baru saja ditinggal oleh anaknya beberapa waktu yang lalu. Aku mengerti sekarang bahwa kebahagiaan tak diperuntukan hanya untuk mereka yang masih muda dan memiliki segalanya, bahkan seorang kakek tua yang masih sibuk merawat bayipun bisa berbahagia. Kakek itu memiliki kebahagiaan dari apa yang telah dititipkan padanya, seorang cucu dari anaknya yang telah meninggal. Aku ikuti kakek itu sampai ke rumahnya dan ternyata rumahnya begitu sederhana, tak seperti yang aku bayangkan.

Sudah hampir 3 bulan berlalu dan aku memang sudah benar – benar layaknya orang sakit. Ibu, ayah, dan adikku pun telah mengetahui semuanya, dan mereka tampak tak seceria dulu. Aku ingin mereka bahagia, tidak seperti sekarang ini dimana wajah mereka tampak begitu cemas memikirkanku. Dan akhirnya masa dimana kontrak hidupku di dunia habis tiba juga, ada pesan yang aku sampaikan kepada ibu, ayah, juga Awan.
“Kebahagiaan bisa didapat kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, dan dengan cara bagaimanapun. Dulu aku sempat melihat anak jalanan yang tampak bahagia meskipun tak memiliki keluarga, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia demi orang – orang yang masih ada di sekitar kalian. Dulu aku juga sempat melihat kakek tua yang begitu ceria meskipun hanya memiliki cucu yang masih bayi, aku harap kalian akan seperti itu, kalian bahagia dengan siapapun yang masih ada di tengah – tengah kalian. Dengan begitu aku juga punya kebahagiaanku sendiri. Aku tetaplah angan yang pernah hadir dalam hidup kalian, angan yang akan selalu membuat kalian tersenyum, angan yang meskipun tak terlihat tapi masih dapat dirasakan canda tawanya. ”

Dan mereka tetap tersenyum dalam tidur panjangku, aku senang sekali mereka seperti itu.

--------------------------------------------------------------------------------------------


EPILOG

Surat Angan dari Surga,

Untuk Awan adikku,

Aku hanya ingin sedikit menuliskan apa yang sedang aku bayangkan. Kau tahu kalau kau itu menjengkelkan ? anak kecil yang sok dewasa dengan keegoisan tingkat tinggi. Kadang semua itu membuatku benar – benar murka terhadapmu, tapi tidak pada kenyataannya. Kau adalah sumber penyemangatku dan kau perlu tahu akan hal itu. Teruslah tersenyum dengan lebar selayaknya waktu kau dapat mainan baru dari ayah sedangkan aku tidak. Bukankah kau begitu senang kalau sikap tak adil itu selalu dijatuhkan untukku ? tapi bukan itu yang aku maksud. Aku ingin kau tetap tersenyum untuk ibu dan ayah karena senyum yang mereka punya hanyalah senyum darimu sekarang. Carilah kebahagiaanmu sendiri karena kakakmu yang suka meledekmu ini sudah punya kebahagiaan sendiri.

Untuk Ibu dan Ayah,

Aku bingung ingin menulis apa dalam surat yang aku tujukan untuk kalian, yang jelas aku sedang ingin membuat sebuah surat untuk kalian. Aku tahu sekali kalau aku tak pernah berbakat yang namanya merayu, tapi dalam surat ini aku akan coba. Kalian tahu apa yang aku inginkan sehingga aku membuat surat rayuan ini? Aku ingin kalian tetap tersenyum. Aku sedikit mengerti kata Angan dalam namaku, angan itu bisa disebut sebuah bayangan tapi bisa juga dikatakan sebuah imajinasi. Oleh karena itu bayangkanlah diriku yang senantiasa tersenyum apabila melihat kalian bahagia. Ah, aku tahu kata – kataku tak romantis tapi tersenyumlah ibu, ayah. Berbahagiaan kalian dengan apa yang masih kalian punya karena anakmu yang suka membantah ini sudah bahagia dengan segala yang dipunya saat ini.

inspirated by pendutt : )

October 30th, 2009

Rabu, 21 Oktober 2009

filosofi stasiun kereta api


Prolog

Aku adalah mahasiswa di salah satu politeknik negeri di daerah depok. Setiap kali aku pulang dari kampusku, tempat yang aku tuju adalah stasiun kereta api. Menunggu sudah jadi hal yang paling utama di sana. Menunggu apalagi kalau bukan kereta api tujuan pasar minggu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Hari ini aku keluar kampus lebih lama dari hari biasanya. Badanku terasa begitu lemas sedang otakku tidak bisa berpikir dengan jernih. Hari ini begitu melelahkan bagiku yang sedari pagi merasa tidak enak badan. Jam menunjukkan kearah angka 4, sudah sore pikirku. Segera ku bergegas menuju stasiun kereta api karena kereta yang aku naiki segera tiba tepat pukul 04.35, masih butuh 35 menit waktuku. Entah kenapa berjalan saja bagiku berat sekali. 30 menit waktu yang cukup untukku hingga sampai stasiun kereta api-yang biasanya hanya 15 sampai 20 menit saja-. Aku masih punya waktu 5 menit sembari menunggu keretaku lewat. Di sebelahku duduk seorang kakek tua dengan topi rimba yang sudah lusung. Aku memulai pembicaraan dengannya.
"Kakek mau pergi kemana ?" tanyaku.
"Kakek mau ke Bogor, ke tempat cucu kakek" jawabnya dengan suara agak gemetar.
"Kalau begitu kakek salah arah, kereta jurusan Bogor itu disebelah sana" unjukku kepada kakek.
"Makasih ya nak." senyum kakek kepadaku sambil memegang pundakku.
Perasaan apa ini ? Otakku yang sedari tadi lumpuh dan tak bisa berpikir akhirnya membayangkan sesuatu. Andai saja dalam 5 menit tadi aku tidak memberi tahu kakek tadi arah yang benar bagaimana nasib kakek tadi ? Anganku mulai melepaskan sejuta gejolak. Pelajaran untukku di hari ini. Hanya dengan waktu 5 menit yang tersisa kakek tadi tidak jadi menuju arah yang salah dan menemukan jalan yang benar yang ia tuju. Begitu juga hidup. Mungkin hanya dengan 5 menit dalam hidup kita, kita dapat merubah hidup kita menjadi sesuatu yang kita harapkan dan tentunya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Itu semua bisa terjadi asalkan kita bisa menentukan jalan yang kita ambil.

Pagi ini aku bagaikan mati suri. Tak heran kalo aku kesiangan. Badanku sebenarnya masih tak enak badan dan mataku berat sekali untuk memberi celah pada cahaya. Tidak masuk kuliah saja pikirku, tapi entah kenapa badan ini bergerak seolah tak dikontrol. Aku menuju kamar mandi dengan setengah kesadaranku. Jam sudah berdetak dan aku memang benar-benar akan terlambat. Aku memutuskan untuk berangkat ke kampus dengan kereta api kali ini. Tiba saja aku di stasiun tepat pukul 07.05, sedang kerataku datang masih ada waktu 10 menit. Tak begitu ramai stasiun ini, tak seperti hari biasanya. Mataku tertuju pada seorang bapak dengan stelan jas yang rapi, ia tertidur. Sebenarnya akupun masih mengantuk. Waktu 10 menit seharusnya aku bisa gunakan untuk sekedar memejamkan mata. Tapi ternyata kereta untukku datang 5 menit lebih awal. Aku naik keretaku sembari melihat bapak yang tertidur tadi. Pas sekali saat keretaku jalan bapak tadi terbangun, ia sadar ia ketinggalan keretanya. Bisakah kalian mengambil pelajaran dari ini ? Janganlah lengah pada waktu. Sesekali kesempatan bisa datang lebih awal dan tidak dapat diduga. Jangan sampai tertidur karena kesempatan itu akan hilang. Aku berpikir mungkin bapak tadi menunggu lagi keretanya datang dan itu menghabiskan waktunya. Kesempatan yang sudah tertinggal akan butuh waktu lama agar ia datang kembali.

Rutinitas yang aku jalani di kampus akhirnya selesai. Bagai narapidana yang keluar dari penjara rasanya karena hari ini konsentrasiku hanyalah dapat beristirahat dengan nyaman di rumah. Langsung saja aku langkahkan kakiku menuju stasiun kereta api langgananku. Kali ini aku tidak sendirian, aku ditemani seorang temanku bernama Rafa.
"Jam setengah dua" jawabku pada Rafa setelah kita sampai di stasiun.
"Wah kereta ekonomi AC masih lama dong datengnya" eluh Rafa.
"Yaudah naik kereta ekonomi biasa aja bareng gua, cuma nunggu 10 menit lagi" saranku kepada Rafa.
"Yah tapi gua udah kebiasaan naik yang ekonomi AC, gimana dong ?" jawab Rafa dengan keragu-raguan di wajahnya.
"Dicoba aja toh sama aja tujuannya, malah bisa lebih cepat sampai" jelasku sambil meyakinkannya.
"Oke deh kalo gitu" kata terakhir dari Rafa yang menandakan ia setuju.
Akhirnya kita berdua naik kereta ekonomi biasa. Aku turun terlebih dahulu sedangkan Rafa masih ada beberapa stasiun yang ia harus lewati. Sampailah aku di rumah yang aku rindukan sebab di kampus selama tujuh jam bagiku seperti seratus tahun lamanya. Ketika aku beristirahat sejenak pikiranku mengingat kembali percakapanku dengan Rafa dan aku menyadari satu hal. Hidup itu tantangan, kadang kita harus berani mengambil langkah baru untuk cepat sampai pada tujuan kita dan tidak hanya terpaku pada jalan yang biasanya kita tempuh yang mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kita sampai pada tujuan.

Hari ini hari Minggu, hari terbebas yang aku miliki. Tak ada kuliah, tak ada pelajaran yang harus dipaksa masuk ke otakku. Tak ada kuliah bukan berarti aku tak ke stasiun idamanku. Rencanaku hari ini adalah pergi ke Bogor untuk sekedar refreshing. Untuk sampai ke Bogor tentunya aku harus naik kereta dan itu berarti aku harus ke stasiun kereta api. Aku sudah siap untuk pergi, pikirku sambil merapikan kerah kemejaku. Sampailah aku di Bogor tepat pukul 08.55, dan itu masih terlalu pagi sepertinya bagiku. Lanjut saja kakiku melangkah menuju tempat-tempat yang menarik yang ada di Bogor. Aku sendirian disini dan aku menikmati kesendirianku. Entah mengapa di hari bebasku jam selalu berdetak seratus kali lebih cepat dibandingkan dengan hari-hariku yang lain yang sering kuhabiskan di kampus. Langit dengan warna kemerah-merahan sudah memberiku tanda bahwa aku harus pulang. kusegerakan kakiku melangkah menuju stasiun Bogor. Setibanya aku distasiun, segera ku duduk karena kakiku rasanya terlalu lemas jika harus berdiri lebih lama. Sambil menunggu keretaku tiba, aku membaca buku novelku yang sudah seminggu tak ku baca kelanjutan ceritanya. Begitu asyiknya aku bersua dengan novelku, sehingga keretaku yang sedari tadi sudah tiba pun tak aku hiraukan. Kakiku pun enggan untuk beranjak dari tempatku duduk. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku, yang aku tahu aku sedang tak ingin cepat-cepat naik kereta. Aku biarkan keretaku yang pertama pergi begitu saja. Tiba-tiba datang seseorang menyapaku.
"Hai dek, mau ke jakarta ?" tanya orang itu kepadaku.
"Iya bang, kenapa emangnya ?" jawabku dengan sedikit kecurigaan di hatiku.
"Ah, engga. Cuma nanya doang." jawabnya sambil melakukan gerakan-gerakan yang tidak wajar.
Kecurigaanku benar ternyata, uang di kantongku dirampasnya. sudah kuikhlaskan saja dalam pikirku, tapi tidak dalam hatiku karena ilmu ikhlasku masih tak begitu tinggi. Entah apa yang terjadi padaku di hari itu, semua waktuku bagai ada yang mengatur. Kenapa aku tak segera naik keretaku yang pertama ? Kenapa aku bertemu dengan pencopet ? jawabnya seakan sudah ada diotakku. semua adalah skenario dari-Nya. Sebenarnya aku tahu betul di stasiun banyak sekali pencopet, lalu kenapa tak kusegerakan kakiku agar ku bisa pergi dari stasiun itu saat keretaku datang ? Jawabnya karena Sang Pembuat Skenario Kehidupanku sudah menuliskan jalan cerita hidupku sendiri. DIA telah mengatur sedemikian rupa agar aku tidak segera naik keretaku hingga akhirnya uangku hilang. Kini aku belajar sesuatu, aku belajar bagaimana cara mensyukuri apa yang terjadi dalam hidupku. Karena sesungguhnya Tuhan sudah membuat skenario yang indah dalam setiap kejadian di hidup kita.

-----------------------------------------------------------------------------------------------


Epilog
Stasiun kereta api bukanlah tempat yang nyaman untuk kita belajar. Namun siapa sangka bahwa di tempat yang tidak nyaman itu sebenarnya kita bisa mendapatkan ilmu yang lebih penting dari pada STATISTIKA, MATEMATIKA, FISIKA, dan ilmu-ilmu lain yang kita pelajari secara formal. Stasiun kereta apiku, disanalah aku banyak mengambil pelajaran dalam hidupku. Banyak kejadian yang terjadi di sana yang memberikanku penalaran-penalaran dasar akan makna "kenapa kita hidup". Dan aku tak akan pernah menyesal kalau aku pernah sering berada di stasiun kereta api. Kini stasiun kereta api ini telah penuh dengan manusia. Waktunya aku meninggalkan stasiun kereta api ini untuk sementara. Dan esok hari aku akan datang lagi dengan sejuta kisah menarik lainnya.

inspirated by pendutt

October 12th, 2009